Suami adalah laki-laki biasa yang jika ada usaha dan doa bisa berubah menjadi lebih baik, sementara Istri menjadi pendampingnya. Caranya?
“Saya sudah tidak mampu lagi menghadapi suami saya ustadz!”
“Ada apa dengan suami Ibu?”
“Suami saya galak, marah-marah dan suka berkata kasar. Tidak pernah mengajak musyawarah, semua diputuskan sendiri. Seolah saya dianggap tidak ada”
“Ada lagi kekurangan suami Ibu?”
“Saya kecewa sekali, suam saya tidak ada romantisnya di rumah. Semua berjalan kaku, monoton dan dingin. Saya ingin perhatian dan bahagia seperti keluarga yang lain.”
“Apakah Ibu masih bisa bersabar dan menerima kekurangan suami?”
“20 tahun saya sudah bersabar Ustadz, rasanya sudah tidak mampu lagi. Berat, capek dan Lelah.”
“Apakah Ibu ingin suami seperti artis film yang ramah dan kaya raya? Romantis, ke sana ke mari memberikan pesona dan banyak penggemarnya di mana-mana.”
“Tidak juga persis seperti itu, Ustadz”
Suami Itu Lelaki Biasa
Siapa manusia di muka bumi ini yang sempurna, baik jasmani dan ruhaninya? Tentu Muhammad Rasulullah SAW jawabnya. Beliau satu-satunya makhluk Allah SWT yang mendapatkan jaminan penjagaan dari dari segala bentuk kekurangan dan kesalahan. Dari sejak sebelum diangkap menjadi nabi hingga akhir hayatnya senantiasa dijaga oleh Allah SWT .
Adapun manusia di muka bumi ini selain Rasulullah SAW, pasti memiliki kekurangan, cacat, aib, kelemahan, keterbatasan dan kesalahan. Termasuk para suami hari ini. Mengharapkan suami yang sempurna tanpa kekurangan dan keterbatasan sedikitpun, itu absurd dan mustahil.
Ada suami yang kaya dan mapan tapi memiliki kekurangan tidak romantis, pendiam, dingin dan pelit. Juga ada tipe suami yang humoris, romantis dan ceria tapi malas, tidak punya pekerjaan yang mapan. Ada suami penampilan memikat dan menarik tapi playboy atau impoten. Ada suami yang shaleh dan baik hati, namun fisiknya kurang menarik atau memiliki cacat. Selalu ada celah cacat yang ada dari sosok suami.
Sehingga jika seorang istri memilih untuk menggugat cerai suami pertamanya. Kemudian menikah dengan suami kedua, belum tentu sesuai dengan harapannya. Jika kecewa gugat cerai lagi dan menikah dengan suami ketiga. Maka tidak ada jaminan bisa langgeng pernikahannya.
Selama suaminya itu laki-laki atau manusia biasa, maka melekat padanya kekurangan dan keterbatasan. Tidak mungkin sempurna sesuai dengan harapan dan keinginannya. Suami itu bukan malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang tidak memiliki nafsu berbuat yang dilarang agama.
Kata kuncinya simpel, suami itu laki-laki biasa dan tidak ada laki-laki sempurna. Maka selama menikah dengan siapapun laki-laki di muka bumi ini, maka akan bertemu dengan titik-titik kelemahan, kekurangan dan keterbatasannya.
Menerima Kekurangan
Pada umumnya semua wanita menginginkan sosok suami yang shaleh, rajin ibadah, tampan, mapan penghasilannya, matang kepribadiannya. Kemudian juga penyayang, penuh perhatian dan pengertian, sabar, romantis, ceria dan setia . Namun sayangnya, sosok suami yang sempurna seperti itu hanya ada di dunia fiksi, bukan di muka bumi ini.
Sebenarnya, keinginan itu wajar dan tidak salah bagi seorang istri. Yang tidak wajar dan salah adalah tidak menyesuaikan keinginan dengan takdir jodoh suami yang Allah SWT sudah tetapkan. Serta tidak menyesuaikan keinginannya di atas dengan kondisi dirinya yang belum juga sempurna.
Sehingga seorang istri harus adil dan proposional dalam menyikapi kekurangan dan kelebihan suaminya. Kalau kelebihan dan kebaikannya jelas dan pasti bisa menerimanya karena itulah yang diharapkan oleh para istri seperti kelebihan-kelebihan di atas.
Kemudian kekurangan pada suami inilah yang terkadang belum bisa diterima oleh istri. Seperti mungkin karena gaji pas-pasan, kurang berpenampilan, menjengkelkan, rewel, pencemburu, suka marah-marah, malas. Namun kekurangan suami bukanlah suatu harga mati yang tidak bisa diubah lagi.
Menyikapi kekurangan suami, bukan sekadar pasrah menerimanya apa adanya atau menerima mentah-mentah tanpa berbuat apa-apa. Sebab sikap seperti itu terkadang mengandung unsur terpaksa dan menyisakan kekecewaan yang sewaktu-waktu meledak, menyimpan ketidak ikhlasan yang memunculkan penyesalan dan kemarahan.
Kekurangan yang bersifat fisik seperti penampilan kurang menarik atau cacat harus dikembalikan kepada penciptanya yaitu Allah SWT. Artinya semua yang diciptakan oleh Allah SWT adalah yang terbaik dan mengandung hikmah di baliknya sehingga harus ikhlas dan sabar menerimanya. Jika tidak menerima atau mencela ciptaan Allah SWT, bisa terjebak dalam perbuatan tercela karena mencela Allah SWT secara tidak langsung.
Kemudian kekurangan yang berhubungan dengan perilaku atau sikap, bisa diubah dengan senantiasa berlatih dan mengingatkan. Mungkin perlu waktu dan kesabaran untuk mengubah sebuah prilaku yang sudah menjadi kebiasaan lamanya.
Kekurangan suami bukan harga mati yang seolah tidak bisa diubah atau diperbaiki. Suami adalah laki-laki biasa yang jika ada usaha dan doa dengan ijin Allah SWT maka karakter, sikap akan bisa diperbaiki dengan bertahap.
Pada dasarnya suami ingin memberikan yang terbaik kepada istrinya. Tapi terkadang kurang tahu dan kurang mampu bagaimana caranya. Sehingga istri bisa membuka hati dan wawasan suami dengan tanpa mengguruinya tentang sikap-sikap positif yang harus dimiliki oleh seorang suami.
Selanjutnya yang juga penting adalah tidak mengumbar kekurangan suami kepada orang lain. Entah keluarga, saudara, sahabat apalagi ke teman atau tetangga. Lebih parah lagi jika diumbar ke media sosial yang akan menjadi bulan-bulanan nitizen.
Kekurangan Suami Bukan Titik Lemah
Semua manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan, termasuk suami dan istri. Kesempurnaan itu hanya dalam mimpi, keinginan dan bayangan. Dalam realita kehidupan berkeluarga akan menemukan banyak titik-titik kekurangan pasangan.
Menikah adalah menyatukan ketidaksempurnaan laki-laki dan ketidaksempurnaan perempuan dalam ikatan pernikahan untuk sinergi membangun rumah tangga dengan saling bekerja sama dalam melengkapi ketidaksempurnaannya.
Sehingga kekurangan suami jangan menjadi sasaran tembak atau titik lemah yang selalu dibuat senjata untuk disalahkan. Seolah suami tertuduh dan menjadi tersangka setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Memang terasa pahit dan getir saat melihat kekurangan suami. Apalagi melihatnya dengan kacamata minus, berlipatlah kekurangannya tersebut. Namun jika kekurangan itu dilihat dari kacamata positif sebagai kesempatan untuk meningkatkan derajat sabar istri, atau sebagai kesempatan untuk berperan mentarbiyah diri dan suami. Maka kekurangan suami menjadi keberkahan dan ladang amal seorang istri. (Hidcom)