Prancis mengutuk apa yang disebutnya sebagai “deklarasi kekerasan” oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan menyampaikan kemungkinan sanksi baru terhadap Ankara, Al Jazeera melaporkan pada Kamis (05/11/2020).
Erdogan telah berseteru dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di sejumlah titik panas geopolitik dan, baru-baru ini, pembelaan Prancis terhadap pernyataannya terkait Islam “radikal”.
“Sekarang ada deklarasi kekerasan, bahkan kebencian, yang secara teratur diposting oleh Presiden Erdogan yang ini tidak dapat diterima,” kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian kepada radio Europe 1.
Erdogan juga ikut mendukung seruan seluruh umat Islam dunia untuk memboikot produk Prancis sebagai tanggapan atas pernyataan Macron bahwa Islam adalah agama “dalam krisis” secara global, dengan mengatakan presiden Prancis membutuhkan perawatan mental atas pandangannya tentang Islam.
Ketegangan semakin memanas ketika Macron, pejabat tinggi, dan publik Prancis terus mendukung karikatur menghujat Nabi Muhammad.
Turki pada Rabu berjanji untuk “menanggapi dengan cara sekeras mungkin” terhadap pelarangan Prancis terhadap kelompok Ultra-nasionalis Grey Wolves Turki.
“Tidak hanya Prancis yang menjadi sasaran, ada solidaritas total Eropa tentang masalah ini – kami ingin Turki melepaskan logika ini,” kata Le Drian.
Dewan Eropa, tambahnya, telah memutuskan untuk mengambil tindakan terhadap otoritas Turki, dan “sekarang penting bagi Turki untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghindari hal ini.
“Ada langkah untuk menekan, ada juga agenda terkait kemungkinan sanksi.”
Macron bersikeras tidak melawan Islam
Sementara itu, Macron telah menggarisbawahi bahwa negaranya sedang memerangi “separatisme Islam, bukan Islam”, menanggapi artikel Financial Times yang dia klaim salah mengutipnya dan sejak itu telah dihapus dari situs web surat kabar tersebut.
Dalam sebuah surat kepada editor yang diterbitkan pada hari Rabu, Macron mengatakan surat kabar Inggris telah menuduhnya “menstigmatisasi Muslim Prancis untuk tujuan pemilihan dan menumbuhkan iklim ketakutan dan kecurigaan terhadap mereka”.
“Saya tidak akan mengizinkan siapa pun untuk mengklaim bahwa Prancis, atau pemerintahnya, mendorong rasisme terhadap Muslim,” katanya.
Sebuah artikel opini yang ditulis oleh koresponden Financial Times dan diterbitkan pada hari Selasa menuduh bahwa kecaman Macron atas “separatisme Islam” berisiko mendorong “lingkungan yang tidak bersahabat” bagi Muslim Prancis.
Artikel tersebut kemudian dihapus dari situs web koran tersebut dan diganti dengan pemberitahuan yang mengatakan bahwa artikel tersebut “mengandung kesalahan faktual”.
Pembelaan Macron atas kebebasan menerbitkan karikatur yang menghujat Nabi Muhammad bertolak belakang dengan pernyataannya yang tidak melawan Islam. Selain itu banyak lembaga Islam, tokoh agama, dan tokoh pemimpin lain yang mengecam kebebasan berpendapat versi Macron. (Hidcom)