Alaqshadelatinos.org – Sebuah lorong, yang diapit dua bangunan besar tak jauh dari masjid Al Azhar. Dua bangunan itu memang terlihat berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, lebih tua dengan corak khas jika dibanding bengunan-bangunan bergaya “modern” yang ada di sekitarnya. Di lorong yang penuh desak dengan para penjual pakaian dan hilir mudik para pembeli. Tembok bagian bawah bangunan itu dipenuhi dengan warna-warni pakaian yang dipajang oleh para pedagang kaki lima. Lorong itu, orang biasa menyebut sebagai pasar Al Ghauri.
Dulu, bangunan yang mengapit lorong pasar itu tidak lain adalah sebuah pondok sufi, sedangkan bangunan yang berhadapan dengannya adalah masjid sekaligus kutab, lokasi anak-anak mempelajari Al Qur`an. Namun kini yang difungsikan tinggallah masjid saja. Tidak jauh dari itu berdiri wakalah Al Ghauri yang bertingkat lima, yang kini menjadi monumen. Ya, dulu wilayah ini merupakan komplek Al Ghauri.
Dalam peradaban Islam sendiri, wakalah memiliki peran penting tidak hanya dalam menumbuhkan kekuatan ekonomi negeri, lebih dari itu, ia pendukung pembangunan ruh spiritual, dimana biasanya para penguasa mewakafkan bangunan itu untuk kepentingan para sufi.
Wakalah sejatinya adalah tempat persinggahan para pedagang rukadz, yakni mereka yang berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menjual barang dagangannya. Di sarana perdagangan itu tersedia gudang dan untuk wakalah Al Ghauri gudang terdapat di lantai dasar. Sedangkan tempat peristirahatan para pedagang berada di lantai lebih atas. Dalam wakalah disedikan penitipan barang berharga juga tempat hewan tungganan beristirahat.
Biasanya, para pedagang begitu tiba di wakalah mereka menurunkan dagangannya di halaman wakalh, lalu melaksanakan shalat dua rakaat. Saat itu, pedagang lokal melihat-lihat barang dagangan tersebut lalu bertanya-tanya mengenai barang-barang itu, juga mengenai negeri-negeri yang telah dilalui oleh si pedagang.
Disamping wakalah, berdiri khaniqah, alias pondok untuk para sufi yang hanya berjarak 30 meter. Di khaniqah, para sufi dididik oleh para mursyid dalam melakukan ibadah-ibadah untuk taqarub kepada Allah. Para penghuninya adalah pribadi-pribadi yang tidak berfikir kecuali alam akhirat. Di tempat ini makanan, minuman, pakaian dan obat-obatan telah tercukupi. Sedangkan Sultan Al Ghahuri sendiri yang membangun komplek itu 909-910 H akhirnya dimakamkan di khaniqah tersebut.
Berhadapan dengan khaniqah, bangunan madrasah kutab sekaligus masjid yang juga terdapat sabil, sarana penyediaan air minum yang diperuntukkan kepada para musafir.
“Dulu sabil di tempat itu,” kata penjaga masjid di seberang khaniqah, sambil menunjuk pagar yang menutup celah di tembok masjid. Masih menurut sang penjaga, sekarang semuanya dijadikan masjid, termasuk sekolahnya. “Itu pada zaman dulu,” lelaki bergamis hitam itu menegaskan.
Kini, meski semua telah menjadi monumen, dan tidak difungsikan lagi serta tentu suasana lingkungan dan kondisinya sudah sangat berbeda jika dibandingkan ketika masa “kejayaanya”, setidaknya ada ibrah yang bisa diambil. Adanya, pusat perdagangan, sekaligus pondok sufi, masjid, kutab serta sabil dalam satu komplek yang disebut Majmu’ah Al Ghauri ini menunjukkan, betapa para penguasa Muslim di kala itu tidak hanya memperhatikan faktor materi, namun spiritual sekaligus sosial.
Wakalah Al Ghauri mengingatkan kepada kita juga, bahwa dengan berurusan dengan dunia, kita tidaklah otomatis harus meninggalkan akhirat. Ya, di Majmu’ah Al Ghauri ini, dunia dan akhirat berjalan beriringan dengan harmonis. (Hidayatullah.com)