Fulan 1: jangan bersedekap setelah ruku
Fulan 2: emang kenapa? ada larangannya?
Fulan 1: emang ada dasarnya?
Fulan 2: #$@*%
Fulan 1: @×+£€¥
Pernah mendengar seperti dialog imajiner diatas? Tentu tidak sedikit mengalaminya. Atau mungkin bahkan terlibat dalam dialog panas dengan aneka topik serupa.
Nah, konflik semacam ini tidak diperlukan bila kita paham cara berpikir Islam secara benar. Karena pemahaman yang benar dapat membedakan antara kebenaran yang mutlak dan relatif dalam beragama.
Ini disampaikan oleh Ustad H. Muhsinin Fauzi, Lc, M.Si dalam Kajian Subuh Masjid Al Aqsha Delatinos. Kajian ini merupakan rangkaian pengajian Tafkir Islami.
Selanjutnya ustad lulusan Universitas Islam Madinah ini menjelaskan, ada 2 kebenaran dalam agama Islam. Yakni kebenaran Mansush yang bersifat Nash.
Kebenaran yang sampai detailnya ada dalam Al Quran dan hadist Rasulullah. Inilah yang dalam istilah sosial disebut dengan kebenaran mutlak/absolut.
Yang dimaksud dengan kebenaran yaitu turunnya pasti dan maknanya pasti. Contohnya adalah mengenai keharaman mengkonsumsi babi. Ayat di Alquran telah menyebutnya dengan jelas dan terang.
Kebenaran berikutnya adalah relatif karena terdapat tafsir atau pendapat. Ini biasanya menyangkut hal-hal yang timbul setelah rasulullah wafat. Termasuk masalah modern seperti yang dihadapi saat ini.
Contoh adalah keharaman alkohol. Dalam mahzab syafii, alkohol adalah najis setingkat dengan air seni. Namun kondisi saat ini memaksa kita untuk sering menyemprotkan alkohol ke tangan untuk menghindari sebaran penyakit.
Lantas bagaimana? Dalam mahzab yang lain yakni Hanafi, alkohol bukanlah tergolong dalam najis. Sehingga penggunaannya tidak menimbulkan masalah.
Dua pendapat inilah yang disebut relatif. Keduanya memiliki dasar dan hujjah namun tidak absolut.
Lantas bagaimana kita sebagai muslim menyikapinya? Sebagai umat Islam, kita harus tegas terhadap kebenaran yang mutlak dan lapang terhadap kebenaran yang bersifat ijtihad.
Artinya kita tidak sebaiknya merasa paling benar dan menganggap pendapat lain salah. Tidak memaksakan pendapat yang kita yakini sebagai satu satunya pendapat yang paling benar.
Sebagai umat Islam kita harus menjadi umat wasathon (pertengahan). Sehingga Islam adalah agama yang sangat lapang dan cenderung pada kebenaran.
Manfaat mengetahui kebenaran absolut dan kebenaran ijtihadi ini adalah agar kita beragama ini nyaman. Tidak bertengkar atas agama. Sehingga menimbulkan persatuan umat dalam sekala luas. Berikutnya adalah agar paham mana komitmen yang ketat dan mana yang bisa dilonggarkan.
Lantas, mengapa ada kebenaran relatif? Mengapa tidak lantas semua ditegaskan dalam Al Quran? Allah mendiamkan bukan karena Allah lupa tapi memang Allah mengijinkan untuk ada ikhtilaf.
Ini harusnya disyukuri, sebab inilah ruang dimana manusia melakukan usahanya. Tentu saja usaha usaha yang diridhoi oleh Allah. Yakni usaha yang didasarkan dengan hukum-hukum Allah. (*)