Adakah kita rindu gowes bareng saat Car Free Day (CFD) di Jakarta. Sebuah catatan ringan May Isnan, yang menuliskan pengalaman pertamakali gowes di jalur paling ramai se-Jakarta itu. Semoga tulisan ini sekaligus menjadi doa agar pandemi segera lewat.
Pertama kali gowes ke CFD Jakarta tahun 2010, itu berarti sudah 11 tahun silam. Waktu itu belum seramai sekarang. Kalau sebelum pandemi, gowes di CFD sudah tak nyaman lagi, sudah terlalu rame. Nanti setelah pandemi berlalu saya ingin bersama goweser Aqsho Go West (AGW) ke CFD Jakarta lagi.
Aku berdua dengan tetanggaku Om Ibrahim, start dari Latinos BSD tepat jam 5 pagi. Masih gelap dan dingin. Sampai jam 5.30 sebenarnya kami memulai tur sepeda ini dengan sebagai “Nite Rider” selama setengah jam, tentu dengan perlengkapan lampu penerangan. Tujuan kami kali ini adalah zone CFD sepanjang jalan Sudirman-Thamrin.
Setiap hari Minggu ke-4, Pemda DKI menetapkan kedua jalan protokol tersebut sebagai zone bebas kendaraan bermotor, bebas dari asap kendaraan. Zona CFD tentu saja menjadi magnet bagi sejumlah warga untuk memanfaatkannya sebagai area berolahraga, berkumpul dan rekreasi. Begitu juga bagi para cyclist, CFD tentu juga dimanfaatkan sebagai area gowes santai (fun bike). Selain tujuan bersepeda, zona tersebut juga berfungsi sebagai area ajang ‘karnaval sepeda’ berbagai jenis serta ajang “menampilkan eksistensi” dari bebagai komunitas sepeda.
Dari Latinos BSD diperkirakan jaraknya sekitar 40 KM sampai ke Bundaran HI, bila dihitung melalui jalan raya. Kami nanti akan bergabung dengan teman-teman dari Klub MTB-Rockers di daerah Pamulang dan Ciputat. Di depan kantor Kawedanaan, Om Budhi bergabung dengan kami. Sebenarnya Om Budhi-lah sebagai penggagas tur masuk kota kali ini. Sekali dalam seminggu, Om Budhi melaksanakan ‘ritual’ Bike to Work (B2W), bersepeda dari rumah di Pamulang 2 sampai kantornya di Plaza Senayan. Dia sudah mahir sekali bersepeda keluar masuk gang-gang kecil, jalan-jalan tikus dan juga melintas jalan raya ramai.
Kami menggenjot sepeda sambil menikmati “Lukisan-lukisan Pagi” yang menarik dan bisa menggelitik hati. Bisa dibayangkan sepertinya kami bersepeda menembus lorong yang dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan pagi yang bertahap menampilkan perubahan suasana.
Lukisan-lukisan dari kegiatan manusia mulai dari keremangan pagi sampai terbitnya sang surya. Bagiku semuanya bagai lukisan nan indah. Mulai dari serombongan jamaah yang baru selesai Pengajian Subuh di mesjid, orang-orang yang membuka jendela rumahnya sambil menguap, nongkrong di depan rumah, sejumlah jogger yang baru keluar halaman rumahnya, anak-anak kecil dengan muka yang belum dibasuh bermain di halaman, sekelompok ibu-ibu yang bersenam ria, penjual sayur yang dikerubuti ibu-ibu dan masih banyak ‘lukisan-lukisan’ pagi lainnya yang bisa kami amati.
Sungguh menarik. Begitu juga sejumlah kucing juga sepertinya ikut menemani tuannya di depan rumah. Makhluk imut-imut ini selalu mengamati siapa saja yang lewat di depan rumahnya,
Sembari mengayuh sepeda, Om Ibrahim sering mengatakan ‘kehebatan’ olahraga bersepeda. “Tidak ada olahraga lain yang bisa membawa kita berpindah tempat sambil bisa menikmati ‘pemandangan’ dan suasana yang penuh sensasi”, imbuh Om Ibrahim. Bagaimana tidak, Om Ibrahim sampai berujar seperti itu, dengan sepeda kita bisa lewat di samping dapur orang, di samping kamar mandi orang. Kami bisa ‘menikmati’ aroma harumnya telor goreng, bawang goreng dan indahnya senandung orang di kamar mandi. Benar-benar sebuah lukisan pagi nan komplit secara audio, visual dan aromatik. “Apa ada cabang olahraga lain yang bisa seperti ini?”, tantangnya.
Om Budhi memandu kami mulai dari gang-gang sempit, jalan pinggir kompleks perumahan, tanah kosong, melangkahi selokan dan bahkan melewati kuburan. Prinsip Om Budhi adalah ambil jarak terpendek sampai tujuan dan jauh dari jalan raya penuh asap kendaraan bermotor.
Tapi kadangkala kami tidak bisa menghindar dari jalan raya. Kami berusaha berjalan sedekat mungkin dengan jalur rel kereta api Serpong-Jakarta, karena itulah jalur ‘potong kompas’ yang bisa menuntun kami dengan jarak yang terpendek menuju Ibu Kota.
Selepas Pondok Ranji kami melewati Jl. WR. Supratman, terus menembus Bintaro Jaya sektor 2. Kami memasuki daerah teritorial Propinsi DKI mulai di Jalan Manyar Bintaro Sektor 1. Sampai di Bintaro sekitar jam 6 pagi. Jalan yang kami lalui didominasi oleh jalan aspal tipis dan paving block dan hanya sesekali melintasi jalan raya. Dari Serpong sampai Jakarta bisa dikatakan sebagai jalanan datar (flat). Setelah meninggalkan Bintaro, kami menyusur jalan Bintaro Raya. Untuk memangkas jalan sampai Kebayoran Lama, kami terpaksa melewati areal kuburan Tanah Kusir. Sesekali kami menerabas perumahan sederhana nan rapat, pasar rakyat nan kumuh dan juga jalan perumahan kelas menengah yang rapi.
Sebenarnya daerah tur sepeda biasa kulakukan adalah di lingkungan pedesaan nan hijau-tenang dan sesekali ‘blusukan’ menembus kawasan hutan dan perbukitan di daerah Rumpin dan Cigudeg. Di daerah nan asri tersebut aku bisa menikmati ‘orkestra alam’ yang dimainkan oleh burung-burung penyanyi, uwir-uwir, gemericik air dan desau angin. Tapi sekarang, sangat berbeda suasananya. Suara knalpot bajaj dan teriakan kondektur metromini di dekat Stasiun Kereta Kebayoran Lama, sepertinya menyadarkanku bahwa aku sudah memasuki kawasan Ibukota Metropolitan. Walaupun kami sudah melalui jalan raya, tapi pada hari Minggu pagi jalanan masih bisa dibilang sepi. Begitu juga jalan arteri Sultan Iskandarsyah.
Sesampai di depan Mall Senayan City (Sency) kulihat cyclometer, ternyata kami sudah bersepeda sejauh hampir 20 km, jam menunjukkan 7.11 WIB. Hampir tidak terasa tenaga kami yang sudah terkuras. Mungkin karena dalam suasana pagi nan sejuk dan ‘happy’ bersama teman-teman. Hampir sepanjang jalan kami ngobrol sambil menggenjot sepeda. Dari Sency dilanjutkan kearah patung pemuda, yang merupakan titik awal dari Jalan Sudirman dan sekaligus juga awal dari zona Car Free Day. Dari jauh kami sudah mendengar keriuhan. Setelah berfoto-ria di depan Patung Pemuda, kami melanjutkan gowes kearah utara dengan tujuan Bundaran HI. Karena keberadaan stand-stand perayaan Hardiknas, kami terpaksa masuk ke jalur Busway. Pada hari CFD, sebenarnya busway tetap beroperasi, tapi bus-bus tersebut terpaksa berjalan pelan di belakang pesepeda yang memasuki jalurnya. (mi-bersambung)