Setelah dua tulisan terdahulu menyoroti soal asal muasal harta dan hisab. Kini giliran riba, bagaimana riba bisa sangat menghinakan. Dalam pembahasan kaidah harta secara ekonomi telah digambarkan bahwa rumus Harta adalah terdiri dari variabel Modal ditambah variabel Hutang (HARTA = MODAL + HUTANG).
Seseorang bisa saja memiliki Harta tanpa Hutang atau bahkan sebaliknya memilki harta semuanya berasal dari hutang. Bisa jadi terlihat gemerlap mewah seseorang sesungguhnya sedang menggambarkan penderitaan beban hutang yang menumpuk dan bertebaran dimana mana. Namun bisa jadi seseorang memang diberi kelebihan Harta yang bersumber dari variabel Modal sendiri.
Variabel Modal dalam rumus aset (harta) sumber perolehannnya bisa dari banyak pintu, diantaranya: warisan, hibah, hadiah dan dari pendapatan usaha / kerja. Sementara variabel Hutang sumber perolehannya dari hanya dua pintu yaitu : hutang tanpa bunga dan hutang dengan bunga (riba).
Dalam variable modal, sumber pendapatan usaha/kerja menjadi bagian terpenting dalam kepemilikan harta. Mengapa demikian? Karena dari variabel inilah klasifikasi harta seseorang bisa masuk harta halal, Haram atau Syubhat.
Dalam variabel HUTANG, maka sumber perolehan hutang menjadi bagian yang sangat penting dalam tambahan perolehan harta. Mengapa demikian? Karena dari sumber hutang inilah keseluruhan Harta yang dimiliki akan berubah menjadi Harta Haram walaupun sumber pendapatan masuk kategori halal.
Sekarang rasanya sangat aneh jika seseorang tidak memiliki hutang. Begitu banyak kebutuhan primer dan Sekunder manusia yang pemenuhannya melalui proses hutang piutang. Mungkin dari sepuluh orang hanya satu yang mampu memenuhi kebutuhannya tanpa hutang.
Bicara hutang, maka sudah tentu tidak akan terlepas dari peranan lembaga pembiayaan keuangan atau perbankan. Dari lembaga ini, pemberian hutang sudah tentu tidak terlepas dari bisnis keuangan yang berbasis pada keuntungan. Bisa dikatakan mustahil dalam penyaluran hutang tanpa imbal balik keuntungan baik dari beban bunga maupun dari biaya jasa lainnya. Bahkan lembaga keuangan yang ber label syariah pun tidak terlepas dari proyeksi keuntungan dalam transaksinya.
Kaidah hutang secara konsep islam, adalah Sodaqoh atau amal berbuat baik untuk menolong saudara atau orang lain tanpa mendapatkan imbalan keuntungan tambahan dari pertolongan yang diberikan dan hanya mengharapkan hanya balasan Ridho Allah Subhana Wa Ta’ala. Sebagaimana Firman Allah Subhana Wa Ta’ala di Q.S. Al Baqarah Ayat 245 :
“Barangsiapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada NYA lah kamu dikembalikan”
Lebih lanjut Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
“Barangsiapa yang meminjam harta orang lain dengan niat ingin mengembalikannya. Allah akan mengembalikan pinjaman itu, namun barangsiapa yang meminjamnya dengan niat ingin merugikannya, Allah pun akan merugikannya” (HR.Al-Bukhari).
Syariat Islam membolehkan adanya hutang piutang bahkan memberikan hutang atau pinjaman sangat dianjurkan terutama kepada mereka yang membutuhkan dan itu akan dapat mendatangkan pahala bagi yang memberikan pinjaman bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan secara rinci kaidah dan syarat muamalah hutang piutang (Q.S Al Baqarah:282). Syarat utama dalam proses piutang ini adalah tidak ada kelebihan dalam proses pengembaliannya.
Dengan demikian hutang uang atau barang seyogyanya harus sama. Kaidah dasarnya adalah pinjaman senilai 1 maka kembalinyapun harus 1. Berbeda dengan jual beli, maka konsep ini memang diperkenankan dalam syariat Islam untuk mengambil keuntungan sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Q.S Al Baqarah : 276.
Bicara penyaluran hutang sudah tentu sangat dekat dengan godaan RIBA. Pinjam meminjam uang dengan mengambil keuntungan sudah ada sejak zaman jahiliyah. Banyak dalil yang menguatkan muamalah pinjam meminjam yang mengarah ke transaksi riba.Secara definisi, transaksi riba adalah suatu kegiatan pengambilan nilai tambah dari suatu akad pinjam meminjam atau keuntungan dari proses jual beli yang terlarang. Di dalam Q.S;275-281, Allah Subhanahu Wa Ta’Alaa melarang transaksi riba. Sangat jelas dan gamblang perihal perintah dan laranganNYA.
Riba termasuk dosa besar. Dalam Kitabnya Al Khabair (Dosa Dosa Besar) yang disusun oleh Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi, Ada 7 dosa besar yang wajib dihindari yaitu : dosa syirik kepada Allah , dosa sihir, dosa makan riba, membunuh jiwa tanpa hak, makan harta anak yatim, lari dari medan perang (jihad fii sabilillah),dan fitnah (HR.Bukhari No.2766 dan HR.Muslim No.89). Secara urutan, maka dosa riba termasuk top Five nya dari semua dosa besar.
Secara tingkatan, dosa riba diatas dari dosa besar umum lainnya seperti : durhaka kepada orangtua, meninggalkan sholat, berzina, merampok, mencuri, dan lainnya. Namun pada kenyataannya perbuatan dosa riba ini berbeda perlakuan sosialnya di mata manusia. Jika dosa zina, mencuri, perampok , para pelakunya secara sosial oleh masyarakat sangat rendah stratanya. Berbeda dengan para pelaku dosa riba yang justru dipandang “tinggi” strata nya karena riba bukan dianggap pelanggaran hukum.
Lihatlah, betapa hinanya seorang manusia setelah ketahuan berzina, betapa rendahnya manusia setelah tertangkap mencuri dan mencopet bahkan di gebukin sampai mati di jalanan. Padahal, Allah Subhanallahu Wa Ta’ala sudah menyatakan bahwa Riba adalah larangan dan termasuk DOSA BESAR. Dengan demikian terjadi anomali status sosial disini.
Untuk menguji argumen anomali status sosial ini, sekarang kita tinggal mendefinisikan siapa saja pelaku riba itu dan bagaimana hubungannya dengan transaksi riba. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, penyetor riba, penulis transaksi riba, dan dua saksi yang menyaksikan riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa” (HR.Muslim, No.1598).
Ada empat pihak yang disinyalir dalam hadist diatas yaitu pemberi pinjaman (Kreditur), penerima pinjaman (Debitur), pihak yang turut serta dalam pencatatan pinjaman (Pekerja/Notaris), saksi yang turut dalam transaksi. Masing masing pelaku memiliki detail peranan masing-masing dan jika dilihat dari subjeknya maka empat pihak diatas, notabene semuanya sama persis dengan orang orang yang menjalankan praktek sistem perbankan/leasing konvensional saat ini.
Secara awam, orang memandang bahwa subjek yang ada di perbankan memiliki gaya hidup yang terhormat, penampilan keren, berkecukupan dan bergelimang materi serta berpendidikan. Sehingga secara hubungan antar manusia, profesi ini adalah terhormat dan wajib didekati. Berbeda jauh dengan profesi yang ada hubungannya dengan dosa besar lainnya, terkesan jijik dan dijauhi.
Jika demikian adanya, maka anomali status sosial atas dosa riba ini benar adanya. Subjek yang tersebut secara dunia dianggap prestasi dan prestise serta glamour dengan kenikmatan kehidupan dunia, ternyata tidak lebih tinggi statusnya dibanding dosa umum lainnya dan dipandang sangat hina dihadapan Allah Subhanallahu Wa ta’alaa. Selayaknya, hukum Allah diatas hukum manusia. (Habis. Selanjutnya, Ikutilah tulisan tentang kisah Hijrah salah satu Jamaah Masjid Al Aqsha, Abdul Haris yang penuh liku dan perjuangan.)