Yang bernyawa pasti mati. Tidak ada perdebatan, tidak penyangkalan, tidak ada bantahan. Semuanya pasti. Meski begitu, tak banyak orang berpikir tentang kematian, meskipun jelas datangnya.
Jika amalannya mulia, maka kenangan baiklah yang akan dikenang, begitu juga sebaliknya, maka tinggal sejarah kelam yang akan di ingat. Kekayaan, jabatan dan kekuasaan sudah tentu akan berlalu begitu. Ia akan hilang dihembus waktu.
Dunia yang melenakan mungkin sudah melupakan, jika saat kematian tiba, semua harus dipertanggungjawabkan. Tak ada yang luput, tak ada yang bisa disembunyikan. Dosa, riba, zina, ataupun apapun sebesar zarrah (dulu orang membacanya sebagai biji sawi, sekarang orang membacanya sebagai sebesar atom-red)
Tidak ada seorangpun yang bisa melewati proses ini. “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami” (Q.S. Al-Anbiya 21 : Ayat 35)
Setelah melewati pintu kematian, maka kita akan dihadapkan pada pertanggung jawaban individu ke hadirat Sang Khalik Pengadilan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semua yang kita lakukan di dunia ini akan ada hisabnya (QS.Al-Ghasyiyah:25-26 dan QS.Al Jaatsiyah 45 : 28-29). Selanjutnya, diriwayatkan dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu ‘Allaihi Wa Sallam, bersabda :
“Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama sampai yang terakhir, pada waktu hari tertentu dalam keadaan berdiri selama empat puluh tahun. Pandangan-pandangan mereka menatap (ke langit). Menanti pengadilan Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dan Ath-Thabrani dan di sahihkan oleh Al –Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib, No.3591).
Seorang mukmin meyakini bahwa hisab itu pasti. Pengadilan individu di akhirat pasti nyata. Kita bisa berlepas dari hukum dunia namun hukum di akhirat pasti tidak luput. Saat nafas tinggal di kerongkongan, maka tidak ada waktu lagi untuk menyesali dan mengakui atas dosa dan kesalahan.
Di Yaumil Hisab (Hari perhitungan amal), kuku, kulit, tangan semua anggota badan kita yang akan bicara, tidak ada kuasa lagi untuk mengunci mulut , tidak ada lagi permainan akal bulus bersilat kata, di pengadilan hisab nanti. Kita semua akan mendapat giliran, satu per satu tanpa terlewatkan. Karena itu, sudah sepantasnya jika hisab ini selalu menyertai tindak tanduk kita agar tetap terjaga.
Secara terperinci terkait hisab, Rasulullah Shallallahu ‘Allaihi Wa Sallam bersabda
“Dari Abu Barzah Al Aslamiy (Nadhlah bin ‘Ubaid r.a), ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Allaihi Wa Sallam bersabda Tidak akan bergeser kedua kaki sesorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang yang telah ia perbuat dan tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan untuk apa saja ia membelanjakannya dan tentang anggota badannya untuk apa saja ia gunakan.” (HR.Tirmidzi)
Mutlak sudah bahwa hisab pasti akan kita lalui. Hisab yang akan kita hadapi nanti adalah hisab umur, hisab ilmu dan hisab harta serta hisab badan. Semua pertanggungajawaban hisab akan kita lalui secara sendiri-sendiri. Peranan dunia ini pada akhirnya akan ada perhitungan di yaumil hisab dan sudah tentu besar kecilnya peranan di dunia akan menjadi penentu di fase kehidupan akhirat nanti.
Allah subhana Wa Ta’ala telah memberikan takdir kepada semua hamba berupa panjang atau pendeknya umur, dalam atau dangkalnya ilmu , banyak atau sedikitnya harta dan baik atau buruknya nikmat fungsi badan yang diberikan kepada setiap manusia. Lama dan kompleksitas hisab seseorang , sudah tentu akan tergantung dari kuantitas dan kualtas kenikmatan yang diberikan tersebut. Ibarat perhitungan prestasi dunia : Umur, Ilmu, Harta dan Amal Tubuh menjadi parameter atau Key Performance Indicators (KPI) keberhasilan dalam melanjutkan fase kehidupan berikutnya. *Serial Hijrah, Squad Anti Riba LAZ Al Aqsha
(Tulisan pertama dari tiga tulisan, bersambung)