Seorang guru memberi tugas mengarang kepada murid-muridnya dengan tema cita-cita. Ada yang menulis dokter, guru, polisi, dan sebagainya. Tapi ada satu anak yang beda, “Aku mau membuat pesawat dan kapal agar orangtua dan guruku bisa pulang ke Sulawesi dengan gratis.”
Anak itu adalah Kaharuddin, saat masih duduk di kelas 2 SD. Sekitar 15 tahun kemudian, cita-cita itu digapai peraih Habibie Award pada 2015 ini. Putra dari pasangan Roselin Trislan dan Otjan Daud Djenod Daeng Malladja ini mampu membuat kapal.
Semudah itukah? Bagaimana sesungguhnya masa kecil anak ketiga dari lima bersaudara ini?
Bagaimana pendidikan di dalam keluarga dulu sehingga Anda menjadi seperti sekarang?
Wah, ini ceritanya panjang, lebih panjang daripada cerita kapal he..he..
Ayah saya marinir, orang asli Makasar. Bisa dibayangkan kerasnya seperti apa. Tapi di balik itu, punya kelembutan luar biasa.
Contohnya, waktu saya di Jepang (kuliah) hanya ibu yang bisa telepon panjang lebar. Ayah justru tidak bisa bicara. Lebih banyak nangisnya.
Bisa dibayangkan kontradiksi karakter ayah. Sangat beda tampilan fisik dengan perilakunya. Keras tapi lembut kepada keluarga. Beliau meninggal 1997, pangkat terakhir Peltu (pembantu letnan satu).
Ibu saya asli Surabaya. Sangat berbeda dengan ayah. Pendekatannya lebih persuasif.
Kondisi kami waktu itu serba kekurangan, namun beliau tak pernah berhenti bermimpi masa depan. Mimpi tentang keluarga, sains, dan sebagainya. Dengan mimpi-mimpi itu, beliau membangun motivasi anak-anaknya. Makanya meski dalam kondisi serba kekurangan, kami tak pernah pesimis dengan masa depan. Ibu selalu memberi harapan.
Perpaduan karakter ayah dan ibu seperti itu, buat saya anugerah.
Bagaimana cara menyampaikan mimpi-mimpi itu?
Ketika kami kumpul bersama. Rumah kami di kompleks Angkatan Laut itu kecil. Ruangannya hanya ada satu tempat tidur dan satu ruang tamu. Kami lima bersaudara, sering kumpul di atas tempat tidur. Di situlah ibu bercerita yang membangkitkan semangat. Jadi, bagi saya, ibu itu gudangnya mimpi.
Contoh mimpi?
Mimpi yang sebenarnya bukan sesuatu yang jauh atau besar. Misalnya, rumah kami kalau hujan bocornya bukan lagi netes, namun sudah seperti air terjun. Kami sudah terbiasa tidur sambil memeluk timba berisi air. Ibu bilang, “Suatu saat nanti kita akan punya rumah yang lebih layak.”
Walau belum tahu kapan, tapi beliau selalu memberi pikiran-pikiran positif. Khusnuzhan kepada Allah. Ini yang sering diajarkan ibu.
Alhamdulillah, ibu sekarang tinggal bersama saya. Alhamdulillah, Allah masih menyisakan kunci surga untuk saya.
Nilai-nilai apa yang ditanamkan orangtua?
Ayah menanamkan kebersihan. Pokoknya soal kebersihan nomor satu. Setiap kali ada kotor, ayah marah. Nah, saya tak ingin ayah marah, maka saya bersihkan dulu.
Pagi sebelum sekolah, saya menyapu halaman dan rumah. Siang pulang sekolah menyapu lagi. Demikian juga sore. Begitu setiap hari. Saya tak peduli lagi dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Bagi saya, lebih penting menjaga agar ayah tidak marah. Itulah yang sebenarnya menjadi dasar saya. Ayah sendiri tak mewajibkan saya menyapu.
Saya sejak SD juga terbiasa mengambil air dari masjid dibawa ke rumah untuk kebutuhan keluarga. Sehari tiga kali, tangan kiri dan kanan membawa jerigen berisi 18 liter air. Jarak masjid rumah sekitar 1 kilometer.
Saya juga ikut bela diri. Ini wajib bagi semua anak laki-lakinya. Makanya, saat SMA saya sudah pendekar pencak silat.
Apa kunci sukses Anda? Sebutkan tiga saja!
Pertama, mimpi. Ini bagian dari khusnuzhan kepada Allah. Kedua, kedisplinan yang ditanamkan ayah. Ketiga, kondisi ekonomi keluarga waktu itu.
Waduh, yang namanya gaji tentara waktu itu, pangkat Peltu dengan lima anak, untuk biaya sekolah saja tidak cukup. Dalam kondisi seperti itu, kami dilatih berinovasi yang bisa menghasilkan sesuatu untuk membantu orangtua. Saya kemudian berpikir, bagaimana bisa menghasilkan uang dengan hobi saya.
Saya hobi menggambar dan membuat kerajinan tangan. Maka saya kemudian membuat jam dinding, meja, dan kursi yang layak dijual. Semua bahannya dari akar kayu jati. Separuh lebih biaya sekolah, saya hasilkan sendiri. Baik hasil dari kerajinan tangan maupun hasil dari negosiasi.
Maksudnya?
Negosiasi dengan pihak sekolah. Jika saya lihat orangtua tidak punya uang, sementara kerajinan saya juga belum ada yang laku, jalan terakhir menemui guru BP he..he.. Biasanya saya disuruh menghadap kepala sekolah. Saya sampaikan apa adanya kondisi kami. Kadang pembayarannya ditunda, kadang malah dibebaskan. Jadi beasiswa setengah memaksa he..he..
Sampai S-3 dapat beasiswa terus ya?
Lulus SMA sempat diterima di Universitas Hasanuddin jurusan Perkapalan. Di sini senang tapi juga pusing karena masalah biaya. Saya lalu keluar, ikut mendaftar program beasiswa Habibie. Tesnya panjang dan lama, ada 15 tahap kalau tidak salah.
Sambil ikut seleksi program tersebut, saya ikut tes di ITB jurusan Penerbangan dan diterima. Senang tapi juga pusing lagi. Uang pangkal saja tak mampu bayar.
Saya lalu berusaha menemui bagian keuangan. Saya sampaikan keadaan saya. Kembali lagi dapat “beasiswa” setengah memaksa. He..he.. Dapat kelonggaran 6 bulan. Yang penting bisa masuk dulu, bayarnya belakangan. Yang pasti sudah dapat kartu mahasiswa dan sebagainya.
Dua bulan setelah itu, dapat panggilan tes tahap akhir program Habibie. Alhamdulillah saya diterima.
Dalam mendapatkan “beasiswa”, selain keadaan ekonomi keluarga, apalagi yang dipakai untuk negosiasi. Prestasi?
Saya merasa tidak punya prestasi yang bagus.
Ranking di sekolah?
Biasanya, di awal saya sangat bersemangat. Pokoknya harus bisa mengalahkan yang lain. Saya ingin membuktikan sampai di mana kemampuan saya. Hasilnya, kelas 1 selalu juara kelas. Begitu masuk kelas 2, nilai drop karena semangat sudah mengendor. Saya anggap juara kelas begitu-begitu saja. Toh saya sudah membuktikan. Jelang akhir kelas 3, semangat lagi untuk mendapatkan nilai bagus agar bisa diterima di sekolah favorit jenjang berikutnya.
Saya mengakui bukan anak pintar dan cerdas. Saya bukan tipe anak yang ketika guru menerangkan langsung nangkap. Jika guru menerangkan, saya lebih banyak menggambar he..he.. Gambar apa saja. Jadi buku catatannya saya penuh dengan gambar.
Tapi di rumah rajin belajar?
Di rumah tidak ada tempat untuk belajar. Apalagi waktu saya habis untuk bersih-bersih. Nah, tempat favorit saya untuk belajar justru di angkot. Di angkot itulah saya bisa fokus membaca dan memahami dengan mudah buku-buku pelajaran. Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh, sehingga cukup untuk belajar.
Saya belakangan jadi berpikir dan ini sesuai dengan teori pendidikan terbaru bahwa masing-masing anak punya karakter kecerdasan berbeda-beda. Punya cara menerima pelajaran juga berbeda-beda. Misalnya, ada anak tipe audio visual. Diterangkan seperti apapun ia tidak nyantol-nyantol. Tapi begitu ditunjukkan gambar, langsung paham.
Ada kejadian tak terlupakan saat pertama kali kuliah di Jepang, tepatnya di Nagasaki Institute. Ada 48 mahasiswa baru, semua dari Jepang, kecuali saya. Ketika perkenalan ada yang menyebut dirinya ahli geografi, ahli sepak bola, ahli matematika, dan sebagainya. Pikir saya, ini anak sombong. Baru lulus SMA saja menyebut ahli.
Begitu tiba giliran, saya bingung, “Saya ahli apa ya?” Saya tak punya bayangan. Mau menyebut ahli matematika –kebetulan nilai saya bagus– takut kalah dengan yang tadi menyebut ahli matematika, walau setelah kuliah nilai matematika dia jauh di bawah saya. Ternyata mereka membandingkannya dengan dirinya yang sebelumnya, bukan dengan yang lain. Ini sesuai Hadits Nabi, manusia terbaik itu hari ini lebih baik ketimbang hari kemarin.
Sementara pendidikan di Indonesia membandingkan dengan orang lain, sehingga saya waktu itu tak berani ngomong. Akhirnya yang keluar dari mulut, “Saya ahli menggambar,” karena itu hobi saya.
Di Indonesia, anak yang pintar menggambar tidak ada yang menyebut anak pintar. Anak yang pintar sepak bola tidak disebut anak pintar. Yang jago matematika, yang jago fisika itulah yang disebut anak pintar. Itu tidak adil. Padahal pintar menggambar, jago sepak bola, itu kecerdasan juga karena tidak semua anak bisa.
Bagaimana dengan anak-anak Anda?
Anak pertama baru semester dua di Universitas Trisakti. Yang dua masih di pesantren tahfizh di Bogor. Yang kecil home schooling. Lulus SD semuanya masuk pesantren al-Qur’an untuk menanamkan dan menguatkan al-Qur`an. Pada semester akhir SMA, saya tarik. Selama 6 bulan mereka saya didik sendiri sebagai persiapan ke universitas sesuai bakat dan minatnya.
Semua anak hafizh al-Qur’an?
Saya tidak menargetkan begitu, karena masing-masing berbeda. Target saya mereka dekat dengan al-Qur`an. Al-Qur`an harus menjadi panglima cita-cita dan rencana-rencana mereka. Itu keinginan saya. (Habis-Tim Hidayatullah)*