Peribahasa diatas tentu tidak terlalu asing di telinga kita. Benar, sebagian orang tua jaman sekarang tumbuh dengan peribahasa ini, mungkin juga telah diwariskan.
Pertanyaanya adalah, sesuaikah dengan cara berpikir muslim? Mengingat, peribahasa ini mengesankan hasil yang diinginkan ditentukan usaha yang tepat. Kalau mau pandai ya rajin bukan hemat. Lantas dimana peran Allah? Dimana letak takdir? Bukankah percaya takdir merupakan salah satu rukun iman?
Baik, untuk memahaminya ternyata harus memiliki kerangka berpikir muslim. Dimana usaha bukan dijadikan penyebab utama penentu hasil, namun tidak pula bergantung pada takdir tanpa upaya.
Inilah yang disampaikan Ustad Muhsinin Fauzy, Lc dalam kajian Sabtu Subuh di Masjid Al Aqsha Delatinos 16 Januari 2021 lalu.
Menurut Ustad, seluruh yang ada di alam semesta ini terikat dengan hukum Allah alias sunatullah. Ada dua jenis hukum Allah ini, yakni hukum syar’i dan hukum kauni. Keduanya berkaitan dan tidak dipisahkan.
Lantas bagaimana memahaminya? Ada lima hal yang harus dilakukan. Pertama, jangan pernah berfikir bahwa hasil adalah karya dari usaha kita. Dampak dari prinsip ini adalah jika mendapat hasil baik tidak sombong sebaliknya jika hasil buruk tidak sedih dan kecewa. Karena hasil itu dari Allah
Kedua, Allah menetapkan pada kita hukum sebab akibat sebagai jalan menuju hasil akhir yang sudah ditetapkan Allah. Ruang usaha yang diberikan Allah pada kita sedikit. Contoh paling konkrit adalah kesehatan. Variabel kesehatan ada empat: berfikir baik, makan baik,olahraga cukup,istirahat cukup. Misal dalam hal makan, kerja kita hanya memakan makanan yang sudah siap dimakan. Namun proses makanan itu sampai pada kita itu diluar ruang usaha kita. Apakah itu dari menanam padi, mengendalikan hujan dan air sehinga padinya tumbuh subur, dan lainnya itu semua diluar ruang usaha kita.
Dari contoh diatas dapat kita pahami bahwa sehat itu adalah pemberian Allah
Ketiga, keberadaan sebab. Meski tidak semua, namun dinamika di alam semesta ini didahului oleh sebab. Ustad Muhsinin menjelaskan adanya dua macam sebab. Keduanya adalah bersifat hukum syari dan kauni.
Jadi sebab itu bukan hanya hukum alam (kauni) saja. Misal kalau mau pintar tidak hanya masalah hukum kauni (bukan hanya rajin belajar). Tapi kita harus taat pada Allah.
Imam Syafii pernah mengadukan masalah hilangnya hafalannya pada gurunya. Gurunya menasehatinya agar meninggalkan maksiat. Inilah contoh kepintaran yang disebabkan oleh hukum syar’i. Makanya banyak ulama dulu yang sekali baca langsung hafal dan hafalannya menetap dikarenakan ketaatan mereka pada Allah.
Inilah yang sering hilang di jaman sekarang. Sekarang orang berfikir meningkatkan kepintaran hanya dengan banyak belajar, banyak mengikuti bimbel, dll. Akibatnya banyak anak-anak yang rentan stres bila impiannya tidak tercapai.
Kerangka berpikir selanjutnya atau keempat adalah, motif atau niat. Sebagai muslim kita dituntut untuk memiliki niat yang ihlas karena Allah dan dengan cara yang benar.
Seringkali kita diuji karena niat yang belum terlalu ihlas karena Allah. Misalnya setengah setengah kalau bertindak karena Allah, sebaliknya all out bila dapat pujian manusia. Ini tentu bukan cara ihlas yang benar.
Hal kelima adalah memahami konsep waktu sebagai komponen yang diluar kendali manusia. Sebagai muslim harus beriman bahwa semua yang berlaku telah ditetapkan Allah. Tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Termasuk menjadi pintar atau menjadi kaya, semua telah ditetapkan. (*)