Menjelang senja, di sepanjang jalan KH Abdullah Syafi’i, kendaraan masih terlihat padat merayap. Bunyi klakson bersahutan laksana katak di musim penghujan.
Dalam koondisi demikian, aku tetap berjalan seperti biasa dengan santai dari kantor menuju depan Alfa Mart untuk menunggu mikrolet no 44 menuju terminal Kampung Melayu. Setelah 15 menit menunggu, penantian pun akhirnya tiba.
Seorang bapak paruh baya berseragam biru dengan ramah mempersilakan masuk di tempat paling depan di sampingnya. Di sela-sela perjalanan singkat ini, ada obrolan menarik antara aku dengan sang supir yang mengaku bernama Lasno itu.
Pria asal Jawa Timur itu menceritakan banyak teman-temannya yang berprofesi menarik ojek daring meninggal dunia. Di antara sebabnya, telat makan, masuk angin bahkan paru-paru akut. Rata-rata yang meninggal itu lembur sampai larut malam.
Menurut pengalaman dia, ia pernah melihat sopir motor ojol tiba-tiba ambruk di jalan saat membawa penumpang. Setelah asyik bercerita, aku coba menghangatkan suasana dengan pertanyaan sederhana, “Pak, gimana penghasilan bapak saat angkutan online lagi marak?” Ia pun menjawab, “Yang jelas menurun, Mas!” jawabnya, datar.
“Terus, sejauh ini, apa alasan bapak bisa bertahan menjadi supir angkot yang bisa dibilang penghasilannya pas-pasan?”
Dengan senyum simpul ia menjawab, “Kuncinya satu Mas; keikhlasan. Hidup dalam kondisi persaingan keras dan ketat begini, kudu ikhlas. Kalau ga ikhlas, pasti ga betah. Al-hamdulillah, dengan bekal keikhlasan, aku masih istikamah jadi sopir angkot.”
Selanjutnya, jawaban pria berambut lurus itu lebih mendalam, “Rejeki itu kan sudah ditentukan. Kita jalani aja dengan ikhlas, insya Allah gak bakal tertukar.”
Luar biasa. Kalau kata “keikhlasan” yang keluar dari lisan para dai, mungkin terasa biasa karena kadang antara nasihat dan kenyataan berbanding jauh. Lha ini sopir angkot, berbicara keikhlasan `kan lumayan super, karena mereka benar-benar mengalami langsung betapa kerasnya hidup di Jakarta, mereka bisa dikatakan sebagai “pelaku keikhlasan”. Apa lagi profesi sopir angkutan umum yang sekarang kalah bersaing dengan angkutan-angkutan berbasis online.
Setelah mendengar jawabannya, aku bertanya persoalan lain, “Menurut bapak, angkutan sejenis ojol bakal laris terus apa menurun?” Ia menjawab, “Aku kira ke depan makin turun. Aku pernah dapat keluhan dari bebrapa penumpang, banyak yang malas naik via online.”
“Kok bisa pak?” tanyaku. “Ya karena pelayanannya kurang bagus, pilih-pilih, kalau hujan gak mau ngangkut, kalau terlalu dekat juga gak mau, pokoknya banyak yang sambatlah. Makanya, ke depan angkutan online pun pasti turun kalau pelayanannya masih seperti ini.”
Aku sendiri pernah mengalami, karena ongkosnya terbilang murah (karena pada waktu itu ada bonus, yang biasanya bayar 25 ribu, waktu itu cuma 5 ribu), ditambah lagi jarak tempat kerja dan tempat tinggal ku lumayan jauh. Akhirnya sama tukang ojol tidak diambil ordernya. Kuncinya memang pelayanan, kalau pelayanannya kurang baik, mana mungkin penghasilan naik.
Dari Pak Lasno, aku mendapat pelajaran berharga:
Pertama, sesusah apapun hidup yang kau jalani, akan terasa ringan jika diiringi keikhlasan.
Kedua, tidak usah khawatir dengan rezeki, karena asal ikhtiar dan yakin kepada Allah, pasti akan bertemu juga.
Ketiga, kerja, usaha, atau bisnis apapun namanya kata kuncinya adalah “pelayanan” terbaik. Jangan mentang-mentang usaha itu milik kita, lantas kita bisa berbuat semaunya. Kita ini makhluk sosial. Hanya yang pandai melakukan pelayanan sosial, yang tak akan gagal, Insya Allah. (Indoinside)