Sore hari, sepulang kerja, Prabu (bukan nama sebenarnya) mampir ke salah satu markas tengkulak buku di Jakarta Timur. Seperti biasa ada obrolan ringan seputar bisnis buku sambil menikmati kopi saset yang diseduh dengan air panas yang pas di warung Mbok Jum.
Di sela-sela obrolan itu, Prabu mencoba menggali dan bereksperimen kecil-kecilan mengenai sajauh mana pentingnya kejujuran dalam berbisnis. Hasilnya cukup mencengangkan.
Nilai kejujuran dalam bisnis bagi rata-rata mereka tidak mendapat perhatian yang begitu bagus. Seperti halnya doktrin Machiavelli: tujuan menghalalkan segala cara.
Diceritakanlah beberapa kasus oleh salah satu tengkulak buku dengan jujur. Untuk mendapat untung besar, kadang-kadang ada yang memborong buku dengan cara buku bagus dan langka diselipkan ke dalam buku yang tak bagus, supaya nanti mendapat harga yang murah.
Ada yang membodohi tengkulak yang tak mengerti harga dengan cara mengatakan, “Ah ini buku ga laku dipasaran. Buku biasa saja ini.” Tengkulak yang tak mengerti harga pun mau tidak mau melepasnya juga daripada tidak dapat uang hari itu.
Ketika tengkulaknya cukup mengerti buku, maka ada cara curang yang dilakukan. “Ada suatu kasus begini Mas,” cerita Paidi (bukan nama sebenarnya) kepada penulis, “kalau ada tengkulak ngerti buku dan menjual dengan harga tinggi, diam-diam sobek saja salah satu halamannya. Pasti ga bakal laku di pasaran dan nanti akan dijual murah.”
“Belum lagi,” kata Paino yang juga turut berbincang sore itu, “persaingan para pemburu buku juga ketat sehingga seringkali di antara mereka saling menelikung.”
Salah satu contohnya adalah dengan cara memonopoli. Misalnya, salah satu pemburu buku berkata kepada salah satu tengkulak agar jangan menjual buku ke si fulan dan si fulan kalau barang langka dan bagus, ia siap dengan harga yang lebih mahal. Adapun buku-buku kualitas sedang, silakan tawarkan ke mereka.
Karena persaingan begitu ketat, maka kejujutan sangat sulit diharapkan dari kalangan para pemburu buku. Kecuali hanya segelintir orang saja yang masih peduli dengan kejujuran
Dalam perbincangan itu, Prabu tetap bersyukur karena masih ada tengkulak yang menjaga kejujuran di tengah persaingan bisnis buku yang begitu ketat dan menghalalkan segala cara.
“Pak!” panggil Prabu kepada para tengkulak itu, “mau gak bisnis yang ga bakal rugi?” “Ya mau lah Mas. Setiap orang bisnis pasti ingin untung,” Jawab mereka serentak.
“Jadi begini, nanti kalau sudah sampai rumah, sempatkan membuka terjemahan surah Fathir ayat dua sembilan dan tiga puluh. Coba renungi baik-baik.”
“Wah, Mas mana sempat. Bahkan di antara kami ada yang buta huruf. Langsung aja Mas ceritain secara singkat. Nanti kalau ada waktu aku sempatkan,” sahut Paidi.
“Kalau mau bisnis yang ga bakal rugi dunia-akhirat: Pertama, menjaga nilai-nilai luhur dalam berbisnis yang bersumber dari agama. Salah satunya tadi kejujuran. Kedua, jangan lepas dari Allah. Semua diorientasikan kepada-Nya. Ketiga, jangan lupa peduli dengan manusia. Bangunlah jaringan yang bagus dengan mereka, jangan lupa bersedekah kalau ada rezeki walau nilainya ga seberapa.”
“Wah, agak berat Mas. Kami sudah terbiasa berbisnis asal untung. Tapi ga papalah apa salahnya kalau dicoba,” tukas Paino.
Obrolan itu berakhir ketika kumandang adzan maghrib yang merdu bersenandung. Sore itu, Prabu bukan saja mendapatkan pengalaman dan informasi berharga tapi juga mampu mendakwahkan bisnis yang tak bakal merugi yang disarikan dari Al-Qur`an. (Indoinside)